Kabur Ke Bali
"Kalau kita punya keinginan, harus ditulis secara spesifik."
Kamu pernah denger nggak kata-kata itu? Aku baru sadar betapa pentingnya makna kalimat itu di tahun 2024 kemarin. Saat itu, aku lagi scroll catatan di handphone dan nemu satu note yang berisi resolusi untuk tahun 2023. Ternyata, itu catatan yang aku tulis di penghujung tahun 2022.
Isinya ada lima hal yang ingin aku lakukan dan aku capai di tahun 2023. Pas aku baca lagi, aku cukup syok—semuanya benar-benar tercapai! Tapi... ada satu poin yang meskipun tercapai, hasilnya nggak sesuai harapan. Kenapa? Ya karena aku nulisnya nggak spesifik. Cukup di sesali. Terlepas dari itu semua, walaupun sudah aku usahakan, mungkin memang bukan jalanku.
Dari lima poin itu, ada tiga yang bisa aku ceritain: ke Bali, eksplor Pulau Jawa, dan ikut volunteer.
Selama menjalani kehidupan di tahun 2023, aku benar-benar lupa pernah nulis itu semua. Aku ikut volunteer karena "suatu" hal yang nggak direncanakan sama sekali. Eksplor Pulau Jawa juga karena pingin main aja, daripada stay di kosan terus. Ke Bali juga apa apaan lagi ini, rencana random yang justru merusak rencana untuk trip ke suatu negara.
Aku cerita dari poin “Ke Bali” dulu ya.
Sebelum ada rencana dadakan kabur ke Bali, aku udah bikin paspor, nyusun itinerary, dan hampir tiap hari mantau harga tiket pesawat ke negara tujuan. Berharap harganya tetap stabil sampai waktunya aku booking.
Lalu tanpa prediksi, aku jadi akrab sama "manusia random". Berawal dari ngobrol di perpus. Dia yang lagi mau nugas dan aku yang lagi mau baca buku, lalu dia notice buku yang lagi aku baca dan nanya,
“Buku apa nih?”
“Ini buku self-improvement gitu, kayaknya. Random beli aja kemarin waktu di Semarang.”
“Oh ya, kamu baru pulang dari Semarang? Ke mana aja kemarin?”
Terus aku sebutin tempat-tempat yang aku kunjungi dan beberapa dia catat.
Aku balik tanya, “Kamu memang ada rencana mau ke sana?”
Lalu dia jawab, “Aku rencana mau ke Bali, sih, sebenarnya.”
Aku cuma “Owh” aja karena waktu itu aku benar-benar nggak ada niat ke Bali. Nol persen.
Inget kan, rencanaku mau ke suatu negara itu?. Dan percakapan itu berlalu begitu saja.
Libur Natal, aku berencana mendaki Gunung Ijen. Gunung ini sudah ada dalam list-ku, dari tahun 2022 lalu. Udah coba ngajakin temen-temen juga, tapi mereka semua jawab: “No, nggak bisa, nggak kuat.”
So, ya… aku putuskan untuk tetap pergi sendiri.
Daripada gagal pergi cuma karena nggak ada yang nemenin kan. Aku rencana ikut open trip biar aman dan nggak bikin keluarga khawatir. Tapi pas aku tanya di grup “Dolan” rekomendasi open trip yang oke apa, mereka kompak bilang:
“Lebih rekomen pergi sendiri aja daripada pakai open trip.”
Aku bingung dong.
Seriusan ini aku harus pergi sendiri, tanpa open trip?
Lalu tiba-tiba aku inget sama "manusia random" itu, kan dia ada rencana mau ke Bali. Kalau ke Bali, pasti lewat Banyuwangi. Jadi, kenapa nggak aku tawari dulu aja? Siapa tahu dia mau ikut mendaki juga. Setelah itu, dia bisa lanjut ke Bali.
Setelah nanya ke dia dan mendapatkan respon "Gass" (memang boleh se-gas itu?). Pendakian ini akan aku lakukan bersama dia. Awalnya, niatku kan cuma ingin mendaki Gunung Ijen, lalu pulang kembali ke Malang, dan dia yang lanjut ke Bali. Tapi kenapa aku malah ikutan ke Bali juga?.
Begini, aku mikir: aku sudah sampai Banyuwangi, tinggal nyebrang 30 menit – 1 jam sudah sampai pulau sebelah. Sayang banget dong kalau malah pilih pulang gitu aja.
Jadi aku ikutan ke Bali. Tapi, tetap dengan rencana masing-masing, maksudnya kita masing-masing bakal ngelakuin solo trip.
Karena aku pikir dia udah punya rencana sendiri, jadi aku nggak mau ganggu. Kebetulan juga aku lagi nyaman dan suka banget untuk ngelakuin solo trip.
Tapi ya namanya hidup, rencana tinggal rencana. Berakhir aku juga yang menyusun itenerary, dan kita malah ngetrip bareng. Dijamin destinasi pilihan aku ga ada yang gagal sih.
H-7 sebelum keberangkatan ke Bali, kegalauan makin menjadi.
“Aku bakal nyesel nggak ya relain trip ke negara itu, dengan menggantinya ke Bali?”
Padahal trip ke negara itu bakal jadi birthday trip aku.
Kenapa pilih relain waktu itu?
Karena aku sadar, aku merasa lebih terkoneksi dengan alam, dibandingkan dengan wisata kota.
Jadi ya… saat itu aku pilih Bali. Seperti yang kita tahu alam Bali itu cantik sekali. Jadi kenapa nggak aku eksplor aja?.
Kenapa nggak dua-duanya aja? Uangnya sudah habis bro.
Jadi waktu itu aku serahin aja semuanya ke semesta.
Sambil bilang: “Kalau memang aku sebaiknya ke Bali, semoga trip ini berjalan lancar.”
Dan yap, beruntungnya trip ini berjalan… hmm, berjalan gimana ya aku juga bingung bilangnya. Kalau dibilang lancar, sebenarnya banyak banget cobaannya. Kalau dibilang sesuai rencana, ya nggak juga. Intinya, banyak trouble-nya. Tapi beruntungnya, semua tempat di dalam bucket list bisa terceklis.
Pulang dari trip ini, walau seru banget, aku masih sempat galau.
“Aku yang umur 20 tahun, besok bakal sedih nggak ya? Birthday trip yang udah direncanain malah dibatalin begitu aja.”
Semuanya terjawab saat aku lihat catatan tadi.
Ternyata, semesta lebih tahu dan mengizinkanku ke Bali karena itu memang yang lebih dulu aku inginkan sesuai isi tulisanku.
Lalu rencana ke negara itu? Jujur, 50% impulsif karena influence dari seorang influencer yang sering bolak-balik ke negara itu.
Bukan berarti aku nggak benar-benar ingin, tapi keinginan itu baru muncul setelah aku nulis resolusi 2023. Jadi, untuk hal-hal yang kita lakukan atau dapatkan saat ini, mungkin aja kita pernah minta dan begitu menginginkan itu di masa lalu—tapi kita lupa.
Poin lainnya gimana?.
Aku ceritain di cerita sebelah kali, ya, dengan judul yang berbeda?.
Kalau kamu suka sama cerita ini dan mau mendukung karyaku. Kamu bisa traktir aku Es Krim 🍦↴
Bonus foto pendakian Gunung Batur