I’m feeling blue.
Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba aku pesan open trip ke Bromo—sendirian. Besok. Iya, besok banget. Hari ini aku pesan, dan besok malam aku bakal dijemput buat trip.
Dalam perjalanan dari kos menuju meeting point sebelum berangkat ke Bromo, aku sempat melamun, “Dengan aku pergi sendirian, berarti ada hal lain yang aku korbankan: momen bareng teman-teman lain yang juga punya rencana ke Bromo. Mereka mikir aku apa ya? Kelihatan individualis banget nggak sih? Mereka bakal marah nggak ya kalau tahu aku udah pergi duluan?”.
Sepanjang jalan, banyak pertanyaan muncul di kepala. Tapi setelahnya aku sadar, jahat banget rasanya kalau aku lebih pilih dengerin asumsi orang daripada dengerin diriku sendiri. Padahal, belum tentu juga seburuk itu yang mereka pikirkan.
Sebetulnya,kenapa aku melakukan ini, aku lagi menepati janji yang pernah aku buat ke diriku di tahun sebelumnya, aku punya list untuk melakukan beberapa hal sendirian— salah satunya, ingin punya momen menyaksikan matahari terbit sendirian.
Sepulang dari Bromo ya nggak ada apa-apa juga. Karena memang aku perginya diam-diam, nggak posting apa pun, dan lebih memilih menikmati momen sepenuhnya.
Beberapa waktu setelah itu, aku nggak sengaja keceplosan waktu ngobrol sama temanku. Aku bilang, “Iya, aku udah ke Bromo sendirian kemarin, karena...”, aku sempat cerita alasan kenapa aku memutuskan untuk pergi sendiri. Ternyata, respon dia baik banget. Dia malah excited, nanya gimana perasaanku selama di sana, kok aku bisa berani banget jalan sendirian.
Dari situ aku sadar, ada banyak versi “aku” di kepala orang lain:
Ada aku yang dianggap antisosial.
Ada aku yang mudah akrab sama orang baru.
Ada aku yang pendiam.
Ada aku yang bawel.
Ada aku yang jutek.
Ada aku yang ceria.
Ada aku yang pemberani.
Ada aku yang juga takut untuk satu hal.
Ada aku yang selalu serius.
Ada aku yang konyol.
Ada aku yang cuek.
Ada aku yang bisa jadi sangat peduli.
Ada aku yang pintar.
Ada juga aku yang lola.
Dan masih banyak lagi versi “aku” di kepala mereka.
Dari semua itu, rasanya akan sangat tidak mungkin aku paksa semua orang untuk melihat aku dengan cara yang sama. Karena, kita semua pasti punya alasan kenapa bisa menjadi versi diri kita yang seperti itu.
Hal ini mengajarkanku, boleh banget kita ngelakuin apapun yang kita mau dan yang kita suka, selama kita tahu apa yang kita lakukan dan bisa bertanggung jawab atas tindakkan tersebut, juga tidak menyakiti orang lain. Karena, pada akhirnya orang lain nggak ada yang benar-benar mengenal kita sepenuhnya, nggak ada yang tahu apa yang sedang kita usahakan.
Lagian ya, saat kita banyak dengerin omongan orang lain di bandingkan mendengarkan diri sendiri adalah sebuah tindak kejahatan. Kenapa begitu? Karena setiap orang ada masanya. Besok mungkin kita akan berpisah, ntah karena kelulusan, ntah soal jarak, ntah perbedaan pandangan hidup dan lainnya. Tapi, untuk hubungan kita dengan diri sendiri, kita akan bersamanya, selamanya. Kalau aku aja nggak mau dengerin “aku”, lalu aku bisa berharap orang lain akan mendengarkan aku?.
______
Aku tidak didefinisikan oleh pandangan mereka, tapi oleh hal-hal yang aku cintai.
I wanna be defined by the things that I love,
Not the things I hate.
Not the things that I’m afraid of—I'm afraid of.
Not the things that haunt me in the middle of the night.
I just think that…
You are what you love. - Taylor Swift
The picture captures my happiness during this me-time.
Seperti biasa kalau kamu suka sama cerita ini dan mau mendukung karyaku. Kamu bisa traktir aku Es Krim 🍦↴